GANGGUAN PENGHIDU PADA COVID-19
Oleh dr.Desy Iriani, Sp.THT-KL dari RSUP Dr.Kariadi
COVID-19 atau corona virus disease 2019, ditemukan pertama kali di Wuhan, China pada bulan Desember 2019 yang disebabkan oleh novel enveloped single-stranded ribonucleic acid (RNA) beta corona virus yang dikenal sebagai severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Penularan dari manusia kemanusia meningkat tajam hingga sangat meresahkan dan penyakit ini menyebar keseluruh dunia hanya dalam waktu beberapa bulan.
WHO melaporkan sekitar 1,3 juta kasus dengan 79.000 kematian hingga 9 April 2020.1
Gejala umum COVID-19 adalah demam (43,8% pada gejala awal dan 88,79% selama perawatan di RS), batuk (67,8%) dan sesak, hidung tersumbat (4,8%), mual muntah (5,0%) dan diare (3,8%) berdasarkan penelitian 1099 pasien di Cina. Penelitian lain di Korea Selatan, Iran, Jerman, Itali, Spanyol, Perancis, Belgia, Inggris dan Amerika menemukan hal lain dari gejala-gejala umum yang telah digambarkan sebelumnya, yaitu temuan gejala gangguan penghidu dengan atau tanpa gangguan pengecapan pada pasien COVID-19. Penelitian THT di Eropa mengobservasi bahwa pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 ini mempunyai gejala gangguan penghidu dan pengecapan yang berat tanpa rinore atau obstruksi hidung, dan pada pasien ini awalnya tidak dicurigai COVID-19 karena tidak ada gejala demam, batuk atau gejala sistemik lain.2
Kejadian gangguan fungsi penghidu pada infeksi virus bukan hal baru di THT. Banyak virus yang dapat menyebabkan gangguan olfaktori melalui reaksi inflamasi di mukosa hidung lalu menimbulkan rinore, dengan penyebab tersering yaitu rhino virus, para influenza Epstein-Barr virus dan beberapa corona virus, namun gangguan penghidu terkait infeksi COVID-19 tampaknya tidak berhubungan dengan pilek, karena penelitian menunjukkan gangguan menghidu pada COVID-19 seringkali tidak disertai keluhan pilek maupun hidung tersumbat.23
The Center for Disease Control (CDC) tidak memasukkan temuan gejala gangguan penghidu dan pengecapan sebagai gejala COVID-19 karena kurangnya bukti mengenai hal ini, namun temuan pada penelitian yang telah dilakukan tersebut sebaiknya tetap dijadikan sebagai bahan pertimbangan mengingat sangat mudahnya penyakit ini menyebar. 2
Orang tanpa gejala yang spesifik (demam, batuk, sesak) tetapi ada keluhan gangguan penghidu dengan atau tanpa gangguan pengecapan sebaiknya dipertimbangkan untuk skrining awal / deteksi dan pasien disarankan untuk rapid test atau lebih baik lagi dengan PCR, dan tentunya disertai dengan anjuran isolasi mandiri. Kita harus meningkatkan kewaspadaan terhadap gangguan penghidu meskipun masih belum ada penelitian dan mekanisme pasti terjadinya gejala tersebut.
Isolasi mandiri dianjurkan saat terdapat temuan gangguan penghidu dan pengecapan mendadak, orang tanpa gejala maupun orang dengan pengawasan, harus tinggal di rumah dan jangan pergi bekerja serta keruang publik, gunakan kamar terpisah di rumah dari anggota keluarga lainnya. Jaga jarak setidaknya satu meter dari anggota keluarga lain. Gunakan selalu masker selama masa isolasi diri. Lakukan pengukuran suhu harian dan observasi gejala klinis seperti batuk atau kesulitan bernapas.
Hindari pemakaian bersama peralatan makan (piring, sendok, garpu, gelas), dan perlengkapan mandi (handuk, sikat gigi, gayung), serta linen/seprai. Terapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan mengonsumsi makanan bergizi, melakukan kebersihan tangan rutin, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir serta keringkan, lakukan etika batuk/bersin. Berada di ruang terbuka dan berjemur di bawah sinar matahari setiap pagi. Jaga kebersihan rumah dengan cairan disinfektan. Hubungi segera fasilitas pelayanan kesehatan jika sakit memburuk (seperti sesak napas) untuk dirawat lebih lanjut.4
Tatalaksana secara umum pada penderita COVID-19 adalah kewenangan dan kompetensi dokter Spesialis Penyakit Paru serta Spesialis Penyakit Dalam. Hidroklorokuin, anti-virus, anti bakteri sebagai terapi utama diberikan bersama terapi simtomatik seperti analgetik, mukolitik, dan terapi suportiflainnya. Sedangkan penatalaksanaan kasus gangguan penghidu sebagai manifestasi gejala COVID-19 dilakukan oleh Dokter Spesialis T.H.T.K.L, pada prinsipnya sesuai penatalaksanaan kasus gangguan penghidu yang disebabkan infeksi virus lainnya, yaitu kombinasi penggunaan cuci hidung menggunakan larutan NaCl 0.9%, kortikosteroid intranasal, dekongestan topikal, dan preparat Zinc. 5
Sejauh ini terdapat satu publikasi terapi anosmia pada COVID-19, yang mencakup terapi secara umum, yaitu parasetamol (62.4%), non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) (9.8%), irigasihidungdenganlarutanNaCl 0.9% (9.6%), klorokuin (7.9%), mukolitik (5.0%), dankortikosteroid oral (1.4%) serta antibiotika oral. Penyembuhan dari keluhan ini dari penelitian 25,5% mengalami perbaikan 2 minggu setelah resolusi dari gejala umum lain, berdasarkan turunnya viral load diperkirakan 56% pasien mengalami disfungsi olfaktori persisten.2
Kejadian gangguan penghidu mendadak harus dikenali oleh komunitas sain sinternasional sebagai gejala yang penting infeksi COVID-19. Penelitian epidemiologi, klinikal dan biomolekular untuk mengetahui mekanisme terjadinya gejala ini harus dikembangkan dalam berbagai populasi. Penelitian lebih lanjut mengenai gangguan penghidu terkait penyakit COVID-19 ini masih sangat dibutuhkan terutama di Indonesia mengingat penyebaran penyakit yang saat ini masih belum dapat dikendalikan. Penelitian lebih lanjut untuk investigasi dan mencari karakteristik fungsi penghidu dan pengecap pada penderita COVID-19 sangat diperlukan sehingga tatalaksana menjadi lebih terarah.5
Tenaga kesehatan yang menemukan kasus gangguan penghidu dan gangguan pengecap serta mencurigainya terkait dengan COVID-19 baik terkonfirmasi maupun yang tidak/belum mampu dilakukan uji diagnostic baku emas dengan pemeriksaan RT-PCR, diharapkan berpartisipasi dalam survey elektronik yang akan dianalisis dan dilaporkan oleh Tim Anosmia Kodi Rinologi PERHATI-KL untuk penelitian di Indonesia. Survei elektronik tersebut dapat dibuka pada tautan https://forms.gle/eSU8q8jBazMjaSyp8
DAFTAR PUSTAKA
1. Guan WJ, Ni ZY, Hu Y, et al. Clinical characteristics of coronavirus disease 2019 in China. N Engl J Med. 2020;382:1708-20.
2. Lechien JR, Estomba CMC, Siati DRD, Horoi M, Bon SDL, Rodriguez A, et al. . Olfactory and gustatory dysfunctions as a clinical presentation of mild to moderate form of the coronavirus disease (COVID-19) : a multicenter European study European Archieves Oto-Rhino-Laryngology. 2020.
3. Suzuki M, Saito K, Min WP, Vladau C, Toida K, Itoh H et al. . Identification of viruses in patients with post-viral olfactory dysfunction. Laryngoscope. 2007;117 (2):272-7.
4. Napitupupu BB, Noordhianta K, Warganegara H, Anwar A, Safitri ED Definisi In: Bashiruddin J, Soekin S, Adham M, Yussy AD, editor. Buku pedoman tatalaksana di bidang THT KL selama pandemi COVID-19. Pertama ed. Jakarta: PERHATI KL INDONESIA 2020. p. 5-7.
5. Wardani RS, Ratunanda SS, Sutikno B, Mailasari A. Anosmia In: Bashiruddin J, Soekin S, Adham M, Yussy AD, editor. Buku pedoman tatalaksana di bidang THT KL selama pandemi COVID-19. Pertama ed. Jakarta: PERHATI KL INDONESIA 2020. p. 46-50.
Beri Komentar